Translate

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 24 Juli 2017

Tulang Bawang Barat Tak Boleh Krisis Literasi

Perjalanan sejarah umat manusia di berbagai belahan bumi sungguh banyak ditopang oleh perkembangan ilmu pengetahuan. Ia seperti cahaya yang memandu perjalanan manusia di tengah kebimbangan dan kegelapan. Ada sebuah adagium yang mengatakan bahwa tanpa ilmu pengetahuan manusia laksana binatang, ini semacam pernyataan afirmasi bahwa sebab ilmu pengetahuanlah yang memberikan corak dalam sebuah peradaban luhur umat manusia. Tentu setiap bangsa, generasi dan wilayah memiliki kontribusi dan identitas tersendiri dalam perjalanan peradaban baik peradaban di Timur dan Barat sedari Sebelum Masehi (SM) hingga sekarang.

Ada hal yang menarik ketika Peradaban Timur yang melibatkan negara-negara Asia mulai mengalami pasang-surut dari puncak peradaban di abad 16,  di sisi lain justru Barat yang melibatkan negara-negara Eropa-Amerika mengalami transisi menuju masa renaissance (pencerahan). Renaissance adalah sebuah keadaan dimana Barat mendobrak beragam ilmu pengetahuan.  Kondisi tersebut seperti secerah cahaya bagi Barat untuk bangkit dari riuh rendahnya Peradaban Timur kala itu. Di saat Timur mulai lesu terhadap ilmu pengetahuan, renaissance Barat berimplikasi hingga ke wilayah Timur jauh, tidak terkecuali Indonesia. Trend peradaban modern Barat pasca renaissance justru makin menggeliat dan mendominasi hampir di seluruh sektor ilmu pengetahuan hingga kini abad 21.

Penulis sekedar ingin menandaskan bahwa tidak ada peradaban bangsa mana pun yang terlahir tanpa keterlibatan kemajuan ilmu pengetahuan. Ia bukan kondisi yang lahir dari sebuah mantera magic belaka. Tetapi, bukan juga hendak mendeskreditkan Timur dan mengagungkan Barat dalam sejarah peradaban umat manusia, namun kita harus mengakui peradaban Barat yang terus konsisten mewarnai peradaban umat manusia dengan ilmu pengetahuan. Maka tidak heran jika negara-negara Eropa-Amerika mengalami segnifikansi perkembangan dan kemajuan yang sangat fantastis. 
Fase dan rentetan dari materialisme historis demikian mungkin pernah kita dengar, namun jarang sekali diambil hikmahnya. Membentuk peradaban yang positif memang tidaklah instan dan mudah. Peradaban Timur termasuk Indonesia harus menjadi rising star bagi peradaban umat manusia . Membangun peradaban yang baik bagi Indonesia salah satunya dengan  ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus distimulasi oleh semangat literasi, tanpa itu semua harapan semu dan nihilisme akan menjadi hal sia-sia. 

Mengingat hasil penelitian Programme for International Student Assessment (PISA) menyebut, budaya literasi masyarakat Indonesia pada 2012 terburuk kedua dari 65 negara yang diteliti di dunia. Indonesia menempati urutan ke 64 dari 65 negara, adapun data statistik UNESCO 2012 yang menyebutkan indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, setiap 1.000 penduduk, hanya satu orang saja yang memiliki minat baca. Alih-alih ingin berpartisipasi dalam peradaban umat manusia, minat leterasi kita jauh pangggang dari api.
Cukup nahas, kendati demikian kita tidak boleh pasrah pada kenyataan. Penambahan kuantitas demografi di Indonesia harus selaras dengan pertumbuhan kualitas yang memadai. Kondisi ini bisa di sinergiskan antara pemerintah pusat dan daerah-daerah yang ada di Indonesia tidak terkecuali domisili penulis di Tulang Bawang Barat Lampung. Karena daerah terdalam, terdepan dan terluar (3T) acap kali mengalami ketertinggalan arus ilmu pengetahuan dibandingkan daerah perkotaan. 

Maka dari itu, Tulang Bawang Barat hendaknya menjadi stereotype bagi daerah-daerah di Indonesia lainnya, sebagai daerah gugus terdepan yang konsisten dan komitmen mendukung semangat literasi masyarakat Tulang Bawang Barat. Konsistensi dan komitmen dukungan Pemerintah Tulang Bawang Barat dan dinas terkait terhadap literasi, dapat dinilai melalui partisipasi yang dilakukan  salah satunya dengan pembangunan Perpustakaan Daerah di Tulang Bawang Barat.
Perpustakaan Daerah dapat menjadi jalan alternatif untuk menumbuhkan semangat literasi di tengah kebuntuan literasi Indonesia secara nasional. Selain itu, pembangunan Perpustakaan Daerah  yang bertaraf Internasional dan tetap berbasis pada hal akademis, kekinian dan nyaman bagi kalangan masyarakat secara umum dan terkhusus kaum terpelajar dan pengajar Tulang Bawang Barat. Dengan demikian, pemerintah Tulang Bawang Barat dan dinas terkait mendukung secara struktural dan kulktural terhadap iklim literasi untuk terus berupaya membina dan mengembangkan kualitas masyarakat Tulang Bawang Barat yang cerdas kompetitif dan berkemajuan.
Rancangan pembangunan jangka pendek sekaligus panjang ini, merupakan strategi terkini bagi kondisi yang dihadapi Indonesia dan daerah daerah lainnya, tidak terkecuali Tulang Bawang Barat, urgensi ini berguna untuk beberapa hal;
1.  Mengantisipasi ketertinggalan masyarakat daerah dengan menghidupkan semangat literasi Tulang Bawang Barat
2.    Sebagai langkah tepat yang dapat di lakukan dalam upaya mempersiapkan     bonus demografi yang akan terus dihadapi Indonesia beberapa tahun mendatang, dimana rasio usia produktif (15-65 tahun) lebih banyak di bandingkan usia non produktif (balita, anak-anak dan lansia). Data menunjukan usia produktif laki-laki dan perempuan di Provinsi Lampung tahun 2015 berkisar 5.418.309 dari total 8.109.601 (https://lampung.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/48)Adapun data LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) 70% dari total jumlah penduduk kita adalah usia angkatan kerja, namun kualitasnya masih relatif rendah sehingga berdampak pada pasar tenaga kerja di Indonesia (http://lipi.go.id/berita/jumlah-usia-produktif-besar-indonesia-berpeluang-tingkatkan-produktivitas/15220
3. Mengantisipasi lemahnya masyarakat Tulang Bawang Barat dalam kompetisi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan global yang semakin dekat di kehidupan kita sehari-hari
Diharapkan adanya Perpustakaan Daerah berikut optimalisasinya dapat menjadi wadah multiguna bagi interaksi komunitas, organisasi setempat serta mampu memberikan stimulan bagi generasi daerah Tulang Bawang Barat untuk bertukar ide atau gagasan yang transformatif, kreatif dan solutif. Perlu adanya keterlibatan semua pihak apapun bidang serta profesinya, kita adalah pelopor perubahan dan pembaharuan positif. Lebih-lebih generasi muda daerah yang akan menjadi bagian estafet sejarah masa depan Indonesia dan Dunia.

Mengutip pemikiran Pramoedya Ananta Toer “sejarah dunia adalah sejarah orang muda, jika angkatan muda mati rasa, matilah generasi bangsa”. Membangun kapasitas sumber daya masyarakat Tulang Bawang Barat dengan semangat literasi, melalui Perpustakaan Daerah adalah upaya penyelamatan generasi muda dari keterpurukan zaman, untuk Tulang Bawang Barat yang cerdas, kompetitif dan berkemajuan. 

Di sisi lain, penanaman semangat literasi demi sebuah ilmu pengetahuan, melalui Perpustakaan Daerah merupakan salah satu kontribusi konkret Tulang Bawang Barat untuk sebuah investasi peradaban yang akan dituai oleh Indonesia dan umat manusia di masa depan. Maka jangan biarkan generasi muda daerah Tulang Bawang Barat hanyut dalam kebimbangan dan kegelapan ilmu pengetahuan. 

Minggu, 23 Juli 2017

Rekonsiliasi Kemerdekaan

Hasil gambar untuk indonesia merdeka
Indonesia sudah melepaskan diri dari para kolonialis sejak 17 agustus 1945 yang lalu dan mendeklarasikan dirinya sebagai negara-bangsa yang berdaulat. Banyak rentetan perjuangan panjang yang dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat seperti kaum tua-muda, perempuan-laki-laki serta berbagai etnis dan kepercayaan lainnya yang turut memperjuangkan kemerdekaan. Tidak jarang perjuangan-perjuangan yang dilakukan hanya bermodalkan tekad dan keyakinan, karena pembelaan atas tanah air yang hanya menggunakan alat-alat seadanya seperti senjata khas nusantara bambu runcing, tombak, panah, golok dan lain sebagainya ketika berhadapan dengan kolonialis, untuk melawan keterjajahan sebagai derita panjang yang harus segera dituntaskan.

Dahulu Indonesia masih merasa asing akan modernisasi alat utama sistem senjata (alutsista) layaknya negara-negara Eropa-Amerika yang mapan. Hal itu pulalah yang menjadikan Indonesia bukan sebagai bangsa ekspansionis yang mendominasi dengan kekuasaan dan kekuatan untuk memonopli bangsa lainnya, melainkan hanya bangsa oportunis yang hanya mengharapkan sebuah kemerdekaan yang mendapat pengakuan secara de facto maupun de yuris dari dunia internasional.

Kemerdekaan merupakan kondisi atau keadaaan yang ingin selalu dicapai oleh umat manusia di seluruh dunia tanpa terkecuali, tentulah bangsa ini mendapatkan kemerdekaan bukan merupakan hal yang cuma-cuma dan tanpa proses, tetapi melalui rentetan konflik-konflik panjang. Dapat dikatakan bahwa ribuan bahkan jutaan liter darah bangsa Indonesia dipertaruhkan dalam proses pencapaianya. Mengutip pernyataan Rocky Gerung “Kita belajar sejarah bukan untuk memuja pahlawan, melainkan untuk mengingat penderitaan”  beberapa kisah klasik tentang perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia seharusnya menjadi refleksi yang sama-sama harus kita syukuri secara khidmat dalam menisi kemerdekaan.

Mari kita beranjak ke regional Timur Tengah dan di belahan bumi lainnya, dengan kondisi negara yang carut­-marut keberadaannya serta selalu mendatangkan berbagai konflik dan polemik yang tidak kunjung selesai, konflik horizontal rakyat vis a vis rakyat, konflik vertikal pemerintah vis a vis rakyat karena hilangannya sikap saling percaya dan curiga antara satu dengan yang lainnya. Hal ini berdampak pada banyaknya warga negara dari daerah berkonflik dan berpolemik mencari suaka ke negara-negara tetangga berharap kembali menemukan kehidupannya yang damai dan sejahtera.

Beberapa peristiwa demikian sudah sering terdengar oleh kita secara cepat, baik melalui media elektronik dan cetak terlebih di era globalisasi yang semakin membiaskan lintas batas suatu wilayah. Komparasi kasus diatas tadi seharusnya menjadi refleksi bagi kita semua sebagai generasi Bangsa Indonesia yang menjadi pelaku sejarah agar lebih sadar betapa penting arti sebuah kemerdekaan. Kemerdekaan merupakan suatu kondisi yang tidak pernah konstan atau pun statis, kemerdekaan yang telah didapat oleh suatu bangsa tidak menutup kemungkinan akan pudar secara perlahan, bahkan boleh jadi perjuangan kemerdekaan jilid dua akan terulang.

Indonesia memliki keanekaragaman fisik, geografis dan topografis wilayahnya serta kemajemukan sosial-budaya warganya, sehingga pencapaian kemerdekaan bangsa Indonesia adalah usaha atau proses yang dilakukan dan ditopang oleh masyarakat yang heterogen, tentu hal ini tidak dibenarkan jika Indonesia di klaim oleh kelompok atau golongan tertentu. Ironi memang pada akhir-akhir ini ada beberapa isu sentral perihal beberapa kelompok di Indonesia yang marak dan begitu masif menggerogoti kemerdekaan melalui ideologisasi  dan gerakan sosial lainnya yang berakibat fatal terhadap disintergrasi bangsa

Berbagai keanekaragaman yang dimiliki bangsa ini akan mengalami krisi multi dimensi yang amat kronis jika tidak ada rekonsilisasi untuk kemerdekaan yang berkelanjutan. Karena kemenangan atas kemerdekaan adalah rekonsiliasi dari semua pihak. Rekonsiliasi pun merupakan jalan dari masyarakat Indonesia dalam membentuk suatu bangsa Indonesia, hingga bangsa Indonesia merdeka dan mengisi kemerdekaanya. 

Boleh dapat dikatakan bahwa tidak ada masa depan tanpa ada rekonsiliasi. Rekonsiliasi ini dilakukan adalah sebagai upaya preventif untuk menjaga keutuhan bangsa dan menghindari perpecahan ideologis terlebih pudarnya kesatuan berbangsa dam bernegara. Hal ini perlu didasarkan pada kerangka hukum yang memerlukan ketundukan serta kepatuhan secara sadar agar saling kompromi secara positif atas satu kelompok dengan  kelompok yang lainnya.

Kemerdekaan adalah jembatan dari sebuah komitmen rekonsiliasi untuk sama-sama melakukan perdamian atas keberagaman yang ada. Meminjam dari pemikiran Galtung terkait perdamaian, bahwa perdamaian positif yang dimaksud berarti perdamaian yang tidak hanya tercapai lewat genjatan senjata, melainkan juga hilangnya kekerasan secara struktural dan budaya (Ramsbotham et al, 2011).

Mengutip pesan Cak Nur mari kita melakukan ‘jihad akbar’ suatu bentuk nyata yang tidak menuntut pengorbanan pertumpahan darah, tetapi menuntut pengorbanan melawan egoisme dan subjektifisme, suatu bentuk pengorbanan psikologis. Jihad akbar adalah jenis perjuangan berat melawan diri sendiri, suatu perjuangan yang memerlukan keberanian menyatakan apa yang benar meskipun pahit karena bertentangan dengan keinginan dan kepentingan pribadi dan kelompok sendiri.

Pengorbanan psikologis bukan suatu hal yang mudah,  apalagi penerimaan dengan lapang dada tanpa pengibaran bendera dendam, justru hal inilah yang dapat menghantarkan kita pada suatu cita-cita luhur serta demi peradaban manusia Indonesia yang lebih beradab. Kata ajakan selalu disampaikan, mari berikhtiar untuk menerima atas perbedaan dan sepakat atas ketidaksepakatan. Indonesia adalah milik kita yang Berbhineka!