
Kita
harus memahami secara benar politik bebas aktif Republik Indonesia. Politik bebas
aktif tentu memiliki landasan filosofis dan prinsip yang direfleksikan melalui
nilai-nilai ideologi Indonesia serta turunannya. Interaksi Indonesia dalam dinamika
internasional baik bilateral ataupun multilateral sangat dipengaruhi oleh
politik luar negeri sebagai instrumen dan cerminan dari sebuah negara. Dalam
kurun waktu beberapa tahun terakhir, masyarakat kita selalu mempertanyakan
keikusertaan dan partisipasi Indonesia dalam perdamian dunia. Seperti di negara-negara yang
tengah berkonflik di Timur Tengah diantaranya Suriah, Iraq, Palestina dan sebagainya.
Terutama pasca negara-negara Islam tetangga seperti Brunei Darussalam, Malaysia
dan lain lain menyepakati untuk bergabung bersama koalisi Arab Saudi dalam
konflik Suriah.
Tulisan
ini hanya mengulas secara spesifik terkait konflik di Suriah. Konflik Suriah
hasil Analisa Jurnal CSIS (Center for Strategic and International Studies) pada
tahun 2013 ternyata sangat kompleks. Tidak semudah dan ringan seperti yang
dikira. Namun tidak bergabungnya Indonesia dalam Koalisi Arab Saudi bukan berarti
Indonesia tidak pro terhadap kemanusiaan dan perdamaian. Secara fakta Indonesia
sampai hari ini masih terus mengirim Pasukan Garuda bersama United Nation untuk berpartisipasi dalam
peacebuilding dan peacekeeping sejak 1957 hingga sekarang.
Bahkan sejak tahun 2013 pemerintah mencanangkan visi untuk meningkatkan
kontribusi pasukan perdamaian hingga 4000 pasukan, yang diharapkan akan
menempatkan Indonesia pada posisi 10 besar kontributor pasukan bagi misi
perdamian dunia (CSIS, 2015:402). Terkhusus di wilayah Afrika Utara dan Timur
Tengah yang juga rawan konflik.
Melihat
perekonomian di Indonesia yang belum stabil karena pertumbuhan ekonomi hanya berkisah 5%, maka Indonesia belum siap bergerak secara masif dan
leluasa untuk konflik yang sangat aktif. Untuk itu, Indonesia memang harus
berhati-hati dalam menetapkan orientasi politik luar negeri agar tidak
terperangkap dalam ranah konflik yang sulit dan berdampak pada stabilitas
domestik.
Konflik
Suriah dalam kaca mata hubungan internasional memiliki peta yang sangat kompleks. Persoalan pertama,
rezim yang dipimpin oleh Basar Al Assad diklaim sangat otoriter oleh
negara-negara Barat yang terus mempertahankan status quonya, dengan bantuan
Rusia yang bermotif ekonomi politik. Adapun Iran dan Iraq yang bermotif ekonomi
politik dan kedekatan secara sektarian Syiah. Persoalan kedua, rakyat Suriah
yang menjadi oposisi ingin menggulingkan rezim yang berkuasa dengan dallih, sudah
tidak lagi mampu memimpin Suriah ke arah yang lebih baik dan menginginkan
demokratisasi di Suriah. Dinamika tersebut didukung penuh oleh Amerika Serikat.
Motif Amerika Serikat di Suriah tentu tidak lain adalah ideologi Demokrasi dan
ekonomi politik.
Sedangkan
koalisi Arab Saudi juga memiliki motif ekonomi politik dan menjadikan sektarian
Sunny sebagai isu sentral. Hadirnya pemain ketiga di Suriah yaitu ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria) yang
makin merumitkan peta konflik yang ada. Dimana ISIS berseberangan dengan rezim
dan rakyat Suriah karena ingin mendirikan negara Islam dengan tidak mengakui
konsep nation-states.
Konflik
yang terjadi di Suriah dengan melibatkan negara-negara besar tidak mampu
mendudukkan perkara dan menghasilkan resolusi damai bagi Suriah. Suriah sebenarnya
merupakan bagian dari proxy war dari
negara industri maju seperti Amerika Serikat vis a vis Rusia sebagai polarasi politik
global peninggalan perang dingin. Menginat pasca perang dingin, Rusia sudah
tidak lagi bermain di luar Eropa. Namun kini, melibatkan diri hingga luar batas
regional ke Timur Tengah. Kali ini Suriah menjadi sasaran panggung unjuk gigi
kekuatan militer dan kepentingan ekonomi politik dari negara-negara besar
Amerika Serikat dan Rusia.
Mungkin
Rusia ingin menguji kompetensi diri dan menunjukan bahwa Rusia masih layak menjadi
rival Amerika Serikat yang patut diperhitungkan. Di sisi lain duo king Timur
Tengah, Iran dan Arab Saudi terus berlomba-lomba untuk menjadi satu satunya
poros kekuatan di Timur Tengah, ditambah dengan isu sektarian diantara keduanya
yang kerap kali menjadi pemicu dalam eskalasi konflik. Menghimpun afiliasi di
Suriah sama saja mendatangkan semua negera untuk mencapuri urusan dalam negeri Suriah
dengan case yang hampir sama, seperti
perang regional Eropa sebelum menjadi Perang Dunia dengan menyeret negara negara
lain terlibat dalam konflik Eropa.
Resolusi
damai bisa dilakukan dengan berbagai cara. Pertama,
rekonsiliasi pemerintah dan rakyat untuk bangkit dari keterpurukan Suriah. Kedua, negara besar yang bertarung untuk
berhenti mendukung afiliasinya karena ini persoalan dalam negeri serta mengantisipasi
ekaslasi dan penyebaran konflik yang lebih besar menjadi perang regional bahkan
Perang Dunia III. Ketiga, national interest dari masing
negara-negara harus lebih arif dalam pemenuhannya dengan tidak menggadaikan
prinsip kemanusiaan dan moral. Keempat,
semua sektor afiliasi bersatu melawan ISIS sebagai tindakan teror yang nyata.
Bukan
jaminan bahwasan keterlibatan Indonesia dalam koalisi Arab Saudi akan
menyelesaikan persoalan. Juga tidak ada jaminan kunjungan Indonesia di Taheran
beberapa hari yang lalu mendukung koalisi Iran. Karena hari ini Indonesia hidup
dalam dunia internasional, diharuskan menjaga hubungan baik dengan masyarakat
internasional guna memenuhi kebutuhan nasionalnya.
Dengan
basis prinsip dan filosofis bebas aktif politik luar negeri Republik Indonesia,
menjadikan Indonesia sebagai negara yang berdaulat. Dimana mampu menentukan
arah negaranya secara mandiri tanpa perlu intervensi pihak lain. Harapan saya
adalah tidak bergabungnya Indonesia di afiliasi dan sekutu mana pun tidak
menghentikan Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial sesuai amanat UUD 1945. Konflik Suriah tidak akan selesai jika
hasrat pemenuhan kebutuhan dari masing masing negara yang terlibat di Suriah
dilakukan dengan cara yang membabi-buta.






0 komentar:
Posting Komentar