Translate

Senin, 09 Oktober 2017

Kuminisme dan Ketakutan Komunal


Hasil gambar untuk communist cartoon

Publik selalu terherah-heran ketika menghadapi akhir bulan September dan memasuki awal Oktober. Semacam ada kegagapan kondisi pada situasi yang berulang. Saya setidaknya mempercayai Mas Karl Marx yang mengatakan “sejarah mah datengnya gitu-gitu aja, ngapain lu pusingin tong!”. Kalau saja sampeyan hidup sejaman dengan generasi Z sekarang, pernyataan itu sangat menggelitik untuk didengar. Mungkin juga karena hidup kita yang terpaut jauh sama sampeyan kita jarang mendengar petuah-petuahnya.

Setiap 30 September selalu heboh dan gagapnya bukan main. Di media sosial menjadi gaduh tak seperti yang biasanya , orang-orang mendadak memperbincangkan Kuminisme (aksen orang-orang dulu). Yang lebih kerennya lagi, orang-orang mendadak seperti hidup sezaman dengan Mas Karl Marx dan lebih tau tentang pemikiran sampeyan. Padahal yang dibicarakan juga tidak dipahami. Itu sama seperti kita sedang ngelindur tapi memberi sebuah komentar. Jadi sulit membedakan antara imajinasi atau fantasi. Tapi ya sudahlah people zaman now memang tengah menghadapi kegagapan pada banyak persoalan.

Kuminisme menjadi suatu pembicaraan yang tidak boleh dilewatkan. Kalau terlewatkan akan menjadi sebuah kewajiban untuk mengqadha dihari berikutnya. Juga seperti ibu-ibu yang pantang untuk dipancing dengan barang baru tetangga. Kalau tidak beli tidak dianggap apdet. Topik Kuminise menjadi sebuah tren pergaulan di bulan september. Kalau tidak bicara Kuminisme ga beken. Selain itu, orang-orang juga sekarang mendadak multi profesi.

Beberapa minggu yang lalu saya tidak sengaja mendengarkan seorang pemuka agama di sebuah rumah ibadah membicarakan Kuminisme dan Mas Karl Marx dengan panjang lebar. Bak seorang yang berprofesi sebagai pengajar Filsafat sekaligus, yang berhak membicarakan materialismenya Mas Karl Marx dan Engel dengan begitu santainya atas nama agama. Atau dialektikanya Mas Karl Marx yang terilhami oleh Mas G. W. F Hegel. Tapi yang semprul­-nya lagi, apa yang disampaikan pemuka agama itu tidak memiliki relasi pemikiran dengan Mas Karl Marx. Tapi yowes rapopo yang penting dibahasnya ditempat ibadah dan yang membahasnya pun tokoh agama. Urusan benar dan salah belakangan yang penting ada agamanya.

Adalagi orang-orang yang bak sejarawan dan merasa tahu tentang Mas Karl Marx. ‘Merasa’ dirinya tahu saja tidak boleh, apalagi ini yang merasa paling tahu. Padahal epistem yang diperoleh hanya dari brodkesan dari satu pesan ke pesan lainnya. Yang kalau divalidasi isinya jauh panggang dari api. Kalau kata pedangdut Bang Rhoma Irama “sungguh terlalu”.

Ketika ada tokoh sekaliber Buya Syafii Ma’arif yang mengatakan bahwa “Kuminis telah menggali lubang kuburnya sendiri jangan dibongkar lagi untuk tujuan politik kekuasaan, sungguh tidak elok, sungguh tidak mendidik. Generasi baru Indonesia jangan diracuni oleh cara-cara politik yang tidak beradab”  tapi ko malah di enyek. Padahal Buya sangat tahu persis soal PKI, karena beliau adalah salah satu aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang juga turut andil untuk mempertahankan NKRI dengan sebuah tata nilai Pancasilanya.

Selain itu, Buya juga bukan orang receh seperti kita yang mendapatkan pengetahuan hanya dari brodkesan pesan-pesan tak mutu. Menelan banyak literasi adalah sebuah pilihan jalan hidupnya. Terlebih beliau adalah salah satu orang yang berinteraksi dengan Kuminisme secara langsung. Baik Kuminisme secara partai politik maupun underbouwnya. Jadi nasehat beliau sebagai orang tua patut dipikirkan dan diterima dibanding Jonru.

Francis Fukuyama dalam sebuah tesisnya The End of History and The Last Man sudah mempredikisi masa depan Kuminisme. “kalem aja tong, Kuminis mah udah masuk dalam kuburan sejarah karena ideologi pemenang dalam kompetisi ideologi global ya Demokrasi Liberal” beberapa penilaian Mas Francis Fukuyama adalah ideologi Kuminisme tidak lagi kompatibel terhadap perkembangan dunia pasca Demokrasi Liberal banyak melakukan hegemoninya.

Terbukti, tulang punggungya ideologi Kuminisme sudah tak lagi identik tjoy. Misal Uni Soviet di Eropa, yang sekarang menjadi Rusia telah terjangkit virus-virus Demokrasi dan Liberal yaitu dengan melakukan glanost (keterbukaan informasi publik) dan perestroika (transformasi politik dan ekonomi) di masa Mikhail Gorbachev pada periode 1980-an. Kalau kurang yakin, coba kita cek Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sebagai tulang punggung Kuminisme di Asia, secara ekonomi doi semangatnya sudah Liberalisme mentok. Peradaban Kuminisme ternyata tidak mampu menggantikan Konfusianisme sebagai spirit Tiongkok. Tanpa Liberalisme ekonomi Tiongkok cenderung kaku dan ambles. Yang tersisa sih cuma politik yang masih pura-pura Kuminis aja.

Kalau waktu itu Mas Karl Marx  bersorban dan bergamis mungkin akan lain ceritanya di Indonesia. Bahkan boleh jadi Susialisme dan Kumunisme akan mendapat sertifikasi halal dari MUI sebagai ideologi yang tidak terlarang. Ya begitulah agama,  paling mujarab untuk dimonopoli, Kalau kata Kanjeng Ibnu Rush jika ingin menguasai atau memperdaya orang awam, bungkuslah perkara-perkara busuk dengan baju atau simbol agama.


Pada akhirnya saya juga bingung bagaimana meyakinkan orang-orang bahwa Kuminisme dan tetek bengeknya itu adalah dagangan politik yang ga laku. Katanya kita bangsa kesatria tapi kok seneng banget nakut-nakutin diri sendiri. Negara-negara tulang punggungnya saja sudah ga bersedia menjadi sarang Kuminisme apalagi di Indonesia. Kalau buat isu itu mbok ya yang menarik dan kreatif. Jangan isu-isu klasik tapi didaur ulang, kere cuk!

1 komentar: