
Publik selalu terherah-heran
ketika menghadapi akhir bulan September dan memasuki awal Oktober. Semacam ada
kegagapan kondisi pada situasi yang berulang. Saya setidaknya mempercayai Mas
Karl Marx yang mengatakan “sejarah mah
datengnya gitu-gitu aja, ngapain lu pusingin tong!”. Kalau saja sampeyan hidup sejaman dengan generasi Z
sekarang, pernyataan itu sangat menggelitik untuk didengar. Mungkin juga karena
hidup kita yang terpaut jauh sama sampeyan
kita jarang mendengar petuah-petuahnya.
Setiap 30 September
selalu heboh dan gagapnya bukan main. Di media sosial menjadi gaduh tak seperti
yang biasanya , orang-orang mendadak memperbincangkan Kuminisme (aksen orang-orang dulu). Yang lebih kerennya lagi,
orang-orang mendadak seperti hidup sezaman dengan Mas Karl Marx dan lebih tau
tentang pemikiran sampeyan. Padahal
yang dibicarakan juga tidak dipahami. Itu sama seperti kita sedang ngelindur tapi memberi sebuah komentar.
Jadi sulit membedakan antara imajinasi atau fantasi. Tapi ya sudahlah people zaman now memang tengah menghadapi kegagapan pada banyak persoalan.
Kuminisme
menjadi suatu pembicaraan yang tidak boleh dilewatkan. Kalau terlewatkan akan
menjadi sebuah kewajiban untuk mengqadha dihari berikutnya. Juga seperti ibu-ibu
yang pantang untuk dipancing dengan barang baru tetangga. Kalau tidak beli
tidak dianggap apdet. Topik Kuminise
menjadi sebuah tren pergaulan di bulan september. Kalau tidak bicara Kuminisme ga beken. Selain itu, orang-orang juga sekarang mendadak multi profesi.
Beberapa minggu yang lalu
saya tidak sengaja mendengarkan seorang pemuka agama di sebuah rumah ibadah membicarakan
Kuminisme dan Mas Karl Marx dengan
panjang lebar. Bak seorang yang berprofesi sebagai pengajar Filsafat sekaligus,
yang berhak membicarakan materialismenya Mas Karl Marx dan Engel dengan begitu santainya
atas nama agama. Atau dialektikanya Mas Karl Marx yang terilhami oleh Mas G. W.
F Hegel. Tapi yang semprul-nya lagi,
apa yang disampaikan pemuka agama itu tidak memiliki relasi pemikiran dengan
Mas Karl Marx. Tapi yowes rapopo yang
penting dibahasnya ditempat ibadah dan yang membahasnya pun tokoh agama. Urusan
benar dan salah belakangan yang penting ada agamanya.
Adalagi orang-orang
yang bak sejarawan dan merasa tahu tentang Mas Karl Marx. ‘Merasa’ dirinya tahu
saja tidak boleh, apalagi ini yang merasa paling tahu. Padahal epistem yang
diperoleh hanya dari brodkesan dari satu pesan ke pesan lainnya. Yang kalau
divalidasi isinya jauh panggang dari api. Kalau kata pedangdut Bang Rhoma Irama
“sungguh terlalu”.
Ketika ada tokoh sekaliber
Buya Syafii Ma’arif yang mengatakan bahwa “Kuminis
telah menggali lubang kuburnya sendiri jangan dibongkar lagi untuk tujuan
politik kekuasaan, sungguh tidak elok, sungguh tidak mendidik. Generasi baru
Indonesia jangan diracuni oleh cara-cara politik yang tidak beradab” tapi ko
malah di enyek. Padahal Buya sangat
tahu persis soal PKI, karena beliau adalah salah satu aktivis Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) yang juga turut andil untuk mempertahankan NKRI dengan
sebuah tata nilai Pancasilanya.
Selain itu, Buya juga
bukan orang receh seperti kita yang mendapatkan pengetahuan hanya dari
brodkesan pesan-pesan tak mutu. Menelan banyak literasi adalah sebuah pilihan jalan
hidupnya. Terlebih beliau adalah salah satu orang yang berinteraksi dengan Kuminisme secara langsung. Baik Kuminisme secara partai politik maupun underbouwnya.
Jadi nasehat beliau sebagai orang tua patut dipikirkan dan diterima dibanding
Jonru.
Francis Fukuyama dalam
sebuah tesisnya The End of History and
The Last Man sudah mempredikisi masa depan Kuminisme. “kalem aja tong, Kuminis
mah udah masuk dalam kuburan sejarah karena ideologi pemenang dalam kompetisi
ideologi global ya Demokrasi Liberal” beberapa penilaian Mas Francis
Fukuyama adalah ideologi Kuminisme
tidak lagi kompatibel terhadap perkembangan dunia pasca Demokrasi Liberal
banyak melakukan hegemoninya.
Terbukti, tulang
punggungya ideologi Kuminisme sudah
tak lagi identik tjoy. Misal Uni Soviet
di Eropa, yang sekarang menjadi Rusia telah terjangkit virus-virus Demokrasi
dan Liberal yaitu dengan melakukan glanost (keterbukaan informasi publik) dan perestroika
(transformasi politik dan ekonomi) di masa Mikhail Gorbachev pada periode
1980-an. Kalau kurang yakin, coba kita cek Republik Rakyat Tiongkok (RRT)
sebagai tulang punggung Kuminisme di
Asia, secara ekonomi doi semangatnya
sudah Liberalisme mentok. Peradaban Kuminisme ternyata tidak mampu
menggantikan Konfusianisme sebagai spirit Tiongkok. Tanpa Liberalisme ekonomi
Tiongkok cenderung kaku dan ambles. Yang
tersisa sih cuma politik yang masih
pura-pura Kuminis aja.
Kalau waktu itu Mas
Karl Marx bersorban dan bergamis mungkin
akan lain ceritanya di Indonesia. Bahkan boleh jadi Susialisme dan Kumunisme akan
mendapat sertifikasi halal dari MUI sebagai ideologi yang tidak terlarang. Ya begitulah
agama, paling mujarab untuk dimonopoli,
Kalau kata Kanjeng Ibnu Rush jika ingin menguasai atau memperdaya orang awam,
bungkuslah perkara-perkara busuk dengan baju atau simbol agama.
Pada akhirnya saya juga
bingung bagaimana meyakinkan orang-orang bahwa Kuminisme dan tetek bengeknya itu adalah dagangan politik yang ga laku. Katanya kita bangsa kesatria tapi kok seneng banget nakut-nakutin diri sendiri. Negara-negara tulang
punggungnya saja sudah ga bersedia menjadi sarang Kuminisme apalagi di Indonesia. Kalau buat isu itu mbok ya yang menarik dan kreatif. Jangan isu-isu
klasik tapi didaur ulang, kere cuk!






Thumbs up! Renyah bacanya
BalasHapus