Revolusi
industri di Eropa nan jauh nampaknya memiliki celah tersendiri bagi
perkembangan arus teknologi dunia dikemudian hari. Itu menjadi apa yang kita
kenal sebagai modern. Secara istilah modern berarti rasionalisasi ekonomi dan administrasi
progresif serta diferensiasi dunia sosial. Diferensiasi yang di maksud yakni
pemisahan fakta dan nilai, yang religius dan duniawi, yang etis dan teoritis
hingga ilmiah dan non-ilmiah (Lubis, 2014:7). Apapun sektornya sedikit-banyak
sudah mengalami denyut modernisasi,
termasuk politik.
Pada
zaman klasik politik di terjemahkan penuh dengan optimisme kebaikan. Plato
maupun Aristoteles menamakannya sebagai en
dam oniai, di Indonesia kita teringat dengan gemah ripah loh jinawi. Secara garis besar politik dapat
mempertaruhkan hajat hidup orang banyak, maka ia adalah sebuah usaha untuk
menggapai kehidupan yang baik (Budiardjo, 2008:13). Tapi ada sebuah kesenjangan yang acap kali
kita temui, dimana politik kian tidak manusiawi karena ketamakan yang tiada
akhir. Secara aplikatif politik kita jauh panggang dari api. Barang kali benar
adanya pemisahan fakta dan nilai pada segmentasi politik tengah berlangsung.
Politik
fakta yang sedang dialami Indonesia hampir selaras di seluruh belahan dunia,
sebuah trend politik yang memiliki konotasi beringas, a moral dan prinsip
kemanusiaan yang siap digadaikan kapan saja untuk menjajaki struktur kekuasaan
dengan menggunakan berbagai komponen kekuatan. Kondisi itu semakin hari kita
anggap menjadi suatu budaya yang lumrah adanya serta diamini oleh banyak orang.
Senada dengan pendapat Hans J. Morgenthau bahwa manusia itu mementingkan diri
sendiri serta mengejar kekuasaan (Jackson dan Sorensen, 2013:68). Sedangkan
politik nilai di Indonesia tidak muncul dipermukaan, ia hanya tersimpan di
ruang-ruang ide dan berlaku di bangku akademis hingga usang dilalap waktu.
Politik
fakta kini juga dihuni oleh filsuf-filsuf yang kompeten untuk memenangkan
pertarungan politik. Keadaan perpolitikan lebih atraktif sejak reformasi, sebab
pasca reformasi 1998 semua kalangan perlahan mulai merasakan hiruk-pikuk
kebebasan tanpa intervensi kekuasaan negara yang subversif. Semarak kebebasan
menjadi hal candu tersendiri, terkadang membuat linglung dan tak jarang kebablasan.
Media semakin mem-bludak membanjiri
tanah air. Organisasi kemasyarakatan juga mulai tumbuh sumbur.
Transisi
kepresidenan dari Soeharto ke tampuk B.J. Habibie dinilai menjadi terusan baru
bagi keberlangsungan demokrasi dan liberalisme di Indonesia. Untuk mengkatrol
kemajuan demokrasi pada tahun 1999, B.J. Habibie menginstruksikan kepada Yunus
Yofifah, yang kala itu menjadi menteri penerangan untuk mencabut mekanisme
perizinan yang ketat dan melakukan liberalisasi bagi pers (SIUPP-Surat Izin
Usaha Penerbitan Pers) (Bakti., dkk 2012:49). Kebijakan tersebut di nilai
menjadi embrio bagi banjirnya media di Tanah Air.
Keterlibatan
politik fakta dan media bukan wacana dan hal baru di Indonesia, Fenomena
tersebut sudah pernah dilakukan oleh rezim Soeharto beberapa dekade silam, yang
bertujuan untuk mempertahankan status quo-nya. Persekongkolan itu menjadikan
media sebagai corong rezim agar pemerintahan bisa berjalan mulus apapun
caranya. Media cetak dan elektronik tempo itu memang terbatas, tidak sebanyak
hari ini. Kendati demikian, monopoli kebenaran berita secara tunggal yang
dikendalikan oleh politik dan media barang tentu sangat memengaruhi mindset
publik terhadap fenomena sosial yang ada.
Tidak
banyak yang berubah pasca reformasi, politik fakta dan media masih enggan untuk
memutus mata rantai tersebut meski tetap menanggalkan politik nilainya. Walaupun
kondisi terkini, media yang tersedia sangat variatif dan dapat menjadi
alternatif untuk sebuah komparasi realitas yang tengah dihadapi. Namun sangat
disayangkan trend persekongkolan tersebut masih digunakan apapun bentuk dan
resikonya. Implikasi persekongkolan keduanya amat berbahaya bagi publik.
Terlebih kelemahan publik dalam melakukan investigasi dan komparasi informasi
justru akan memanipulasi kepercayaan publik terhadap persoalan-persoalan yang
sedang terjadi.
Era
keterbukaan informasi akibat perkembangan teknologi pasca revolusi industri
tidak bisa terelakkan, apalagi membuangnya jauh-jauh ke tong sampah. Hal
tersebut merupakan keniscayaan zaman yang harus dihadapi dunia dan Indonesia
secara khusus. Liberalisasi pers di Indonesia menempatkan media dalam posisi
penting untuk berperan lebih dan masif bagi problematika bangsa yang kompleks
dan multi dimensi.
Liberalisasi
media di era keterbukaan Indonesia yang semu justru digunakan oleh segilintir
orang tanpa akal sehat, berita hoax
yang diproduksi buzzer dan fake account akan
menambah manipulasi kebenaran yang sering dilipat gandakan. Tujuannya sangat
beragam, tapi kecenderungannya tidak lain mengarah pada motif politik. Media
acap kali digunakan untuk meninggikan elektabilitas aktor politik tertentu atau
bahkan untuk menyerang elektabilitas aktor politik lainnya. Banyak rekayasa
sosial yang di lempar begitu saja tanpa filterisasi keadaan. Baik media
abal-abal maupun media kelas kakap sekalipun, kinerja permainannya kurang lebih
tidak banyak perbedaan.
Trend
politik fakta Indonesia yang mengarah pada kursi kekuasaan dan liberalisasi
pers menghendaki privatisasi media yang mengarah pada kalkulasi matematis
profit. Sepanjang sejarah keterhubungan antara kekuasaan dan kekayaan memang
sangat berdekatan. Persekongkolan diantara keduanya akan menambah runyam
persoalan bahkan bisa jadi menambah persoalan baru yang tak jarang penuh dengan rekayasa dan
kepura-puraan.
Politik
Media memang memasuki babak baru di Indonesia pasca reformasi, barang tentu
sedikit membuat kita terseok-seok namun kita dituntut untuk adaptif dalam
menerima gelombang perubahan yang sedang bergulir. Mengutip narasi Duncan
McCargo setidaknya ada tawaran mengenai tiga moda agensi yang dapat diterapkan
sebagai parameter dalam menentukan politik media. Pertama, “agen
stabilitas” yang berfungsi sebagai nation
building guna membantu pemerintah. Kedua, “watchdog” yang bertujuan
untuk mengawasi keseharian struktur politik bukan sebaliknya. Adapun bentukya
bisa beragam seperti penulisan tajuk rencana atau berita secara kritis hingga
melakukan jurnalisme investigasi hingga skala besar terkait skandal korupsi dan
lain-lain. Ketiga, “agen perubahan” yang memiliki peran layaknya petugas
kebakaran. Dengan kata lain media turut membantu perubahan politik dalam
situasi kritis bahkan secara ekstrem dapat menurun rezim politik tertentu
(Bakti., dkk 2012:54-55).
Tawaran
McCargo tersebut bukanlah suatu kemustahilan dan jauh dari pada kemungkinan.
Dengan demikian, urgensi untuk menjaga independensi dari pemiliki media
tertentu merupakan sebuah keharusan serta menetapkan kebijakan-kebijakan bidang
media secara tepat. Mengingat kebebasan pasca reformasi terkadang menggali
lubangnya sendiri untuk menjebak siapa saja agar berbuat tanpa akal sehat,
terlebih soal publikasi informasi yang tengah marak di dunia virtual yang
kebenarannya banyak mengandung probabilitas bahkan salah kaprah.
Mengutip
pernyataan salah satu sejarawan terkemuka asal Inggris E.H.Carr bahwa segala
tindakan politis harus didasarkan pada koordinasi moralitas dan kekuasaan.
Untuk itu, para aktor politik hendaknya mereformasi diri menjadi sosok
negarawan, agar tidak mengerahkan seluruh komponen kekuataan untuk sekedar
menjadi mandataris masyarakat, dengan mengada-ada segala hal menggunakan media
demi polularitas diri dan seolah-olah menjadi yang paling absah menjadi
representasi masyarakat.
Di sisi lain media sebagai fasilitator juga dituntut
mempertahankan kaidah objektifitas untuk sebuah konten yang kebenarannya dapat
divalidasi. Bukan hanya sekedar kalkulasi matematis profit semata. Karena
jutaan mindset publik yang akan
dipertaruhkan. Sudah seharusnya kolaborasi politik dan media berorientasi pada
sebuah nilai. Nilai kebaikan bagi semua. Adapun kita selaku masyarakat hendaknya
selalu skeptis dan tidak menelan bulat-bulat segala bentuk berita dan informasi
yang beredar. Boleh jadi komparasi berita dan informasi menjadi jalan
alternatif agar kita tidak lagi dimanipulasi.






Mantab nih
BalasHapus