Translate

Senin, 21 Agustus 2017

Politik Media dan Manipulasi Kepercayaan



Hasil gambar untuk politik media
Revolusi industri di Eropa nan jauh nampaknya memiliki celah tersendiri bagi perkembangan arus teknologi dunia dikemudian hari. Itu menjadi apa yang kita kenal sebagai modern. Secara istilah modern berarti rasionalisasi ekonomi dan administrasi progresif serta diferensiasi dunia sosial. Diferensiasi yang di maksud yakni pemisahan fakta dan nilai, yang religius dan duniawi, yang etis dan teoritis hingga ilmiah dan non-ilmiah (Lubis, 2014:7). Apapun sektornya sedikit-banyak sudah mengalami denyut  modernisasi, termasuk politik.

Pada zaman klasik politik di terjemahkan penuh dengan optimisme kebaikan. Plato maupun Aristoteles menamakannya sebagai en dam oniai, di Indonesia kita teringat dengan gemah ripah loh jinawi. Secara garis besar politik dapat mempertaruhkan hajat hidup orang banyak, maka ia adalah sebuah usaha untuk menggapai kehidupan yang baik (Budiardjo, 2008:13).  Tapi ada sebuah kesenjangan yang acap kali kita temui, dimana politik kian tidak manusiawi karena ketamakan yang tiada akhir. Secara aplikatif politik kita jauh panggang dari api. Barang kali benar adanya pemisahan fakta dan nilai pada segmentasi politik tengah berlangsung.

Politik fakta yang sedang dialami Indonesia hampir selaras di seluruh belahan dunia, sebuah trend politik yang memiliki konotasi beringas, a moral dan prinsip kemanusiaan yang siap digadaikan kapan saja untuk menjajaki struktur kekuasaan dengan menggunakan berbagai komponen kekuatan. Kondisi itu semakin hari kita anggap menjadi suatu budaya yang lumrah adanya serta diamini oleh banyak orang. Senada dengan pendapat Hans J. Morgenthau bahwa manusia itu mementingkan diri sendiri serta mengejar kekuasaan (Jackson dan Sorensen, 2013:68). Sedangkan politik nilai di Indonesia tidak muncul dipermukaan, ia hanya tersimpan di ruang-ruang ide dan berlaku di bangku akademis hingga usang dilalap waktu.

Politik fakta kini juga dihuni oleh filsuf-filsuf yang kompeten untuk memenangkan pertarungan politik. Keadaan perpolitikan lebih atraktif sejak reformasi, sebab pasca reformasi 1998 semua kalangan perlahan mulai merasakan hiruk-pikuk kebebasan tanpa intervensi kekuasaan negara yang subversif. Semarak kebebasan menjadi hal candu tersendiri, terkadang membuat linglung dan tak jarang kebablasan. Media semakin mem-bludak membanjiri tanah air. Organisasi kemasyarakatan juga mulai tumbuh sumbur.

Transisi kepresidenan dari Soeharto ke tampuk B.J. Habibie dinilai menjadi terusan baru bagi keberlangsungan demokrasi dan liberalisme di Indonesia. Untuk mengkatrol kemajuan demokrasi pada tahun 1999, B.J. Habibie menginstruksikan kepada Yunus Yofifah, yang kala itu menjadi menteri penerangan untuk mencabut mekanisme perizinan yang ketat dan melakukan liberalisasi bagi pers (SIUPP-Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) (Bakti., dkk 2012:49). Kebijakan tersebut di nilai menjadi embrio bagi banjirnya media di Tanah Air.

Keterlibatan politik fakta dan media bukan wacana dan hal baru di Indonesia, Fenomena tersebut sudah pernah dilakukan oleh rezim Soeharto beberapa dekade silam, yang bertujuan untuk mempertahankan status quo-nya. Persekongkolan itu menjadikan media sebagai corong rezim agar pemerintahan bisa berjalan mulus apapun caranya. Media cetak dan elektronik tempo itu memang terbatas, tidak sebanyak hari ini. Kendati demikian, monopoli kebenaran berita secara tunggal yang dikendalikan oleh politik dan media barang tentu sangat memengaruhi mindset publik terhadap fenomena sosial yang ada.

Tidak banyak yang berubah pasca reformasi, politik fakta dan media masih enggan untuk memutus mata rantai tersebut meski tetap menanggalkan politik nilainya. Walaupun kondisi terkini, media yang tersedia sangat variatif dan dapat menjadi alternatif untuk sebuah komparasi realitas yang tengah dihadapi. Namun sangat disayangkan trend persekongkolan tersebut masih digunakan apapun bentuk dan resikonya. Implikasi persekongkolan keduanya amat berbahaya bagi publik. Terlebih kelemahan publik dalam melakukan investigasi dan komparasi informasi justru akan memanipulasi kepercayaan publik terhadap persoalan-persoalan yang sedang terjadi.

Era keterbukaan informasi akibat perkembangan teknologi pasca revolusi industri tidak bisa terelakkan, apalagi membuangnya jauh-jauh ke tong sampah. Hal tersebut merupakan keniscayaan zaman yang harus dihadapi dunia dan Indonesia secara khusus. Liberalisasi pers di Indonesia menempatkan media dalam posisi penting untuk berperan lebih dan masif bagi problematika bangsa yang kompleks dan multi dimensi.

Liberalisasi media di era keterbukaan Indonesia yang semu justru digunakan oleh segilintir orang tanpa akal sehat, berita hoax yang diproduksi buzzer dan fake account akan menambah manipulasi kebenaran yang sering dilipat gandakan. Tujuannya sangat beragam, tapi kecenderungannya tidak lain mengarah pada motif politik. Media acap kali digunakan untuk meninggikan elektabilitas aktor politik tertentu atau bahkan untuk menyerang elektabilitas aktor politik lainnya. Banyak rekayasa sosial yang di lempar begitu saja tanpa filterisasi keadaan. Baik media abal-abal maupun media kelas kakap sekalipun, kinerja permainannya kurang lebih tidak banyak perbedaan.

Trend politik fakta Indonesia yang mengarah pada kursi kekuasaan dan liberalisasi pers menghendaki privatisasi media yang mengarah pada kalkulasi matematis profit. Sepanjang sejarah keterhubungan antara kekuasaan dan kekayaan memang sangat berdekatan. Persekongkolan diantara keduanya akan menambah runyam persoalan bahkan bisa jadi menambah persoalan baru yang tak  jarang penuh dengan rekayasa dan kepura-puraan.

Politik Media memang memasuki babak baru di Indonesia pasca reformasi, barang tentu sedikit membuat kita terseok-seok namun kita dituntut untuk adaptif dalam menerima gelombang perubahan yang sedang bergulir. Mengutip narasi Duncan McCargo setidaknya ada tawaran mengenai tiga moda agensi yang dapat diterapkan sebagai parameter dalam menentukan politik media. Pertama, “agen stabilitas” yang berfungsi sebagai nation building guna membantu pemerintah. Kedua, watchdog yang bertujuan untuk mengawasi keseharian struktur politik bukan sebaliknya. Adapun bentukya bisa beragam seperti penulisan tajuk rencana atau berita secara kritis hingga melakukan jurnalisme investigasi hingga skala besar terkait skandal korupsi dan lain-lain. Ketiga, “agen perubahan” yang memiliki peran layaknya petugas kebakaran. Dengan kata lain media turut membantu perubahan politik dalam situasi kritis bahkan secara ekstrem dapat menurun rezim politik tertentu (Bakti., dkk 2012:54-55).

Tawaran McCargo tersebut bukanlah suatu kemustahilan dan jauh dari pada kemungkinan. Dengan demikian, urgensi untuk menjaga independensi dari pemiliki media tertentu merupakan sebuah keharusan serta menetapkan kebijakan-kebijakan bidang media secara tepat. Mengingat kebebasan pasca reformasi terkadang menggali lubangnya sendiri untuk menjebak siapa saja agar berbuat tanpa akal sehat, terlebih soal publikasi informasi yang tengah marak di dunia virtual yang kebenarannya banyak mengandung probabilitas bahkan salah kaprah.

Mengutip pernyataan salah satu sejarawan terkemuka asal Inggris E.H.Carr bahwa segala tindakan politis harus didasarkan pada koordinasi moralitas dan kekuasaan. Untuk itu, para aktor politik hendaknya mereformasi diri menjadi sosok negarawan, agar tidak mengerahkan seluruh komponen kekuataan untuk sekedar menjadi mandataris masyarakat, dengan mengada-ada segala hal menggunakan media demi polularitas diri dan seolah-olah menjadi yang paling absah menjadi representasi masyarakat. 

Di sisi lain media sebagai fasilitator juga dituntut mempertahankan kaidah objektifitas untuk sebuah konten yang kebenarannya dapat divalidasi. Bukan hanya sekedar kalkulasi matematis profit semata. Karena jutaan mindset publik yang akan dipertaruhkan. Sudah seharusnya kolaborasi politik dan media berorientasi pada sebuah nilai. Nilai kebaikan bagi semua. Adapun kita selaku masyarakat hendaknya selalu skeptis dan tidak menelan bulat-bulat segala bentuk berita dan informasi yang beredar. Boleh jadi komparasi berita dan informasi menjadi jalan alternatif agar kita tidak lagi dimanipulasi.






1 komentar: