Translate

Jumat, 17 Juni 2016

Islam dan Demokrasi


Hasil gambar untuk islam dan demokrasi
       Beberapa umat islam di kondisi hari ini termasuk diantara kita semua, hanya memahami makna konotasinya perihal ukhrawi dan duniawi, individu dan masyarakat. tanpa memandang denotasi (values) sebenarnya yang melekat, sehingga terjadi benturan-benturan peradaban umat manusia dunia antara timur dan barat seperti yang dikemukan oleh Samuel P. Huntington. 

       Satu pembahasan menarik yang menjadi perdebatan diantara muslim dasawarsa kebelakang hingga kini adalah demokrasi. Demokrasi yang dianggap beberapa intelektual muslim sebagai prodak pemikiran negara-negara utara bukan dari pada ajaranNya. Demokrasi dalam bahasa yunani terdiri dari dua terminologi demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan), maka kekuasaan ada ditangan rakyat. Hal ini berlaku hanya di dunia terutama konsepsi mengenai kenegaraan. 

       Allah melegitimasi manusia sebagai wakilNya di muka bumi (Dunia) bukan tak beralasan, melainkan manusia sebagai puncak cipataanNya (Q.S At-tin;4) dibandingkan makhluk yang lainnya karena dibekali indera, akal dan hati untuk mencapai kebenaranNya. Dengan puncak ciptaan ini manusia dituntut untuk melakukan kerja kemanusiaan/amal shaleh di muka bumi (dunia) sesuai fitrahnya berdasarkan pada risalah Allah, sebagaimana yang dicontohkan rasul-rasulNya yang turun disetiap zaman. 

       Mengutip pemikiran Cak Nur bahwa dunia adalah panggung sejarah bagi manusia. Ketika manusia bisa mencatatakan sejarah di dunia, itu berarti manusia punya hal yang bersifat asasi yaitu kemerdekaan atau kehendak bebas untuk menentukan nasibnya sendiri (Q.S Ar-Ra'd;11). Bukan Maha Kehendak dan Maha Bebas, karena sejatinya Maha dari segala maha adalah Dia (Allah) yang Maha Sempurna. Maka tak heran jika di dunia, manusia menjadi pusat dan pelaku peradaban (antrosentris)

       Konsepsi kekuasaan ada di tangan rakyat (manusia) sudah tepat jika dilakukan untuk mengelola kemashlatan di dunia. Ketika kekuasaan ada di tangan rakyat berarti semua manusia tanpa terkecuali memiliki hak dan kesempatan yang sama (prinsip ekualitas dan inklusifitas) untuk membangun peradaban manusia yang lebih luhur sesuai sifat ruhaniayahnya yang fitri sebagai pancaran cahaya Allah menurut Al Farabi. 

       Demokrasi yang berprinsip ekualitas dan inklusifitas ini, mengakomodasi semua entitas yang ada baik minoritas dan mayoritas. Nabi Muhammad SAW sebagai usuwtun hasanah bagi ummat islam telah menggambarkan hal demikian setelah hijrahnya rasul ke yastrib. Karena keadaan yastrib yang sangat plural dan multikultural, perbedaan niscaya adanya (Q.S Al-Hujuraat;13) maka rasul memandang perlu untuk melibatkan kelompok-kelompok di luar dari pada islam untuk ikut merumuskan konsensus bersama. Inilah yang disebut MoU (perjanjian) Madinah beserta butir butirnya akan mutual respect, toleransi dan lain sebagainya. 

       Demokrasi bukanlah hal yang baru bagi umat islam, maka konsepsi dan fonemena yang ideal yang rasul contohkan sudah sepatutnya kita teladani untuk membangun peradaban yang lebih maslahat dan luhur. Membangun peradaban dunia yang maslahat serta luhur tidak akan cukup jika hanya umat islam saja dan tidak pernah tercapai tanpa memegang teguh demokrasi beserta prinsipnya untuk menghindari prilaku yang diskriminatif dari suatu kelompok terhadap kelompok yang lainnya dan tentu tidak mencerminkan makna islam yang kompleks itu sendiri. Mengutip Pesan Quraish Shihab adalah jangan memonopoli surga untuk mendapatkannya karena surga terlalu luas. 

Wallahu ya’lamu wa nahnu laa na’lamuun.

0 komentar:

Posting Komentar