Beberapa
pekan yang lalu kita diramaikan oleh statement
Ahok yang sensasional dan sangat kontroversial, karena komodifikasi politik
yang kurang etis berkenaan dengan kitab suci Al-Qur’an yang diyakini oleh semua
umat Islam. Berbagai respon mulai bermunculan, baik dari beberapa kalangan ormas
Islam maupun insitusi kegamaan. Beberapa kelompok ini menilai ada kecenderungan
Ahok melakukan blasphemy terhadap
Islam.
Merujuk
dari apa yang pernah dijelaskan oleh Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi tentang hal ini, bahwa
blasphemy atau blasfemie (bahasa Perancis) adalah istilah yang digunakan untuk
penistaan agama di Barat. Kata blasphemy dalam
Online Etymology Dictionary,2001 Douglas Harper berasal dari bahasa Latin blasphemia yang artinya irreligious, pernyataan, perkataan jahat
atau menyakitkan, terkadang juga diartikan bodoh.
Secara
definitif blasphemy adalah kejahatan,
menghina atau menistakan yang menunjukan pelecehan atau kurang menghargai Tuhan
terhadap ajaran, maupun hal yang berkaitan mengenainya. Menurut The American Heritage, blasphemy adalah aktifitas, pernyataan, tulisan yang merupakan
penghinaan mengenai Tuhan atau sesuatu yang sakral. Itulah beberapa pengertian
tentang penistaan. Namun demikian,
Fenomena Ahok tersebut juga masih memiliki framing/debatable yang berbeda diantara berbagai
macam kelompok yang ada, baik di internal umat Islam maupun di beberapa
kelompok yang lainnya.
Setelah
berita ini mencuat, Ahok selalu menjadi trending
topic di berbagai media massa nasional dan daerah. Terlepas dari siapa yang
menistakan dan dinistakan, hal santernya adalah bahwa konstalasi politik DKI
Jakarta begitu eksoktis dan sexy
sehingga kegaduhannya tidak saja terdengar di wilayah DKI Jakarta bahkan
mungkin sudah tersebar keseluruh pelosok-pelosok negeri. Tapi dalam konteks
pilkada DKI Jakarta maupun proses
pemilihan lainnya (pilpres dan pileg) yang
diselenggarakan dalam kurun waktu tertentu, pada siklus demokrasi ini, sudah yang
kesekian kalinya kita masih menemukan isu-isu yang berkaitan dengan SARA (Suku-Agama-Ras
dan Antar golongan).
Tidak
dapat dipungkiri bahwa DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Indonesia tentu akan
menjadi trendsetter bagi perpolitikan
berbagai daerah di Indonesia. Isu-isu SARA yang terus bergulir Ini menandakan
bahwa kondisi demokrasi Indonesia belum begitu mapan mulai dari penyelenggaraannya
hingga para kontestan yang bertarung. Kemasan isu-isu SARA yang gurih juga
sebagai cara mutakhir untuk mejatuhkan rival politik yang terus dikembangkan
dan berlangsung di DKI Jakarta.
Tentulah
hal ini tidak terjadi begitu saja, jika tanpa prima causa yang melatarbelakangi sebagai alat. Hal ini dikarenakan
implikasi media massa kontemporer baik cetak atau pun elektronik yang begitu
masif mem-blow-up secara berjamaah
sebagai sajian berita terhangat dan up to
date. Jika kita cermati perkembangan media massa di Indonesia, sebelum Orde Baru jumlah dan peranan media massa baik cetak maupun elektronik belum begitu
masif. Sejak jatuhnya Orde Baru menuju reformasi, dimana pintu kebebasan
terbuka begitu lebar sehingga jumlah media massa begitu bekembang hingga tahun
2013 jumlahnya terus meningkat mencapai 415 (Tempo 2013: 87)
Dalam
memandang peranan media, dahulu pandangan epistemologi kaum positivism mengatakan bahwa media
bersifat otonom, steril (nir-kepentingan) dan menggambarkan realitas dari
segala sesuatu secara faktual. Namun sepanjang dinamisasi fenomena yang
berkaitan tentang media massa yang ditinjau dari beberapa aspek disiplin ilmu
sosial yang lainnya, dari beberapa filosof melihat bahwa media merupakan
realitas yang dikonstruksi oleh kepentingan tertentu dan bukan cerminan dari
realitas faktual (mirror of reality) seperti
yang dikemukakan salah satu tokohnya Struart Hall dalam bukunya yang berjudul The Rediscovery of Ideology: The Return of
the Repressed in Media Studies, dengan memakai berbagai teori pemikiran
Jaques Lacan, Antonio Gramsci, Roland Barthes dan yang lainnya (Akhyar Y.
Lubis, 2015: 87 ; Hall, 1982).
Aliran
posmodern dalam pandangan Cultural
Studies yang menjadi antitesa dari kaum positivism
yang beranggapan bahwa media bukanlah saluran yang bebas nilai dan bersifat
netral, melainkan media adalah salah satu instrumen dominan untuk menciptakan, memproduksi
serta menyerbarluaskan narasi dominan sesuai kehendak kelompok atau orang
tertentu untuk mengontrol kelompok yang lainnya (Bannet, 1982). Tidak heran
jika netralitas media hari ini cenderung terpolitisasi, karena politikus
profesional dan lembaga-lembaga politik kini secara agresif menanamkan sumber
daya mereka pada kekuasaan media, dimana ekstasi terhadap media begitu
menggairahkan para penguasa (Ariel Heryanto, 2015: 18). Kondisi media yang
terpolitisasi sangat berbahaya bagi perkembangan politik dan demokrasi Indonesia
kearah yang lebih mapan. Apalagi konten informasi media yang mempertontonkan
banyak hal yang mengandung unsur SARA seperti kontalasi politik DKI Jakarta,
dapat memperkeruh tatanan sosial masyarakat yang ada.
Perilaku
vandalis kebhinekaan semacam ini perlu menjadi catatan serius bagi kita semua. Pertama
adalah isu-isu SARA yang dimainkan oleh kontestan politik tertentu secara
psikologis akan berdampak kepada grass
root class yang meluas bukan hanya di wilayah DKI Jakarta saja, melainkan
berbagai daerah lainnya. Kedua, isu-isu SARA juga akan
berdampak pada sikap fanatisme terhadap golongan. Ketiga,
ketika fanatisme mulai menguat maka kebencian antar golongan mulai tumbuh. Kebencian antar golongan inilah yang menjadi
sumbu dari ketidak-harmonisan masyarakat dalam keberagama-an serta
disintegrasi bangsa dan negara.
Pada kondisi yang lain, media yang terpolitisasi cenderung mempublikasikan kompetitor-kompetitor politik yang hanya sebatas pada realitas virtual saja. Dalam artian kapasitas dan kapabilitas yang dimiliki kompetitor tertentu terkadang berbanding terbalik dari apa yang disajikan oleh beberapa media. melalui isu-isu SARA yang beredar akan membiaskan kapasitas dan kapabilitas kandidat yang sedang berkompetisi dalam pilkada DKI Jakarta. Tentu masyarakat DKI Jakarta harus menyuling informasi yang didapat atas fenomena yang terjadi agar tidak menjadi korban dari pertarungan aktor-aktor politik.
Konstalasi
politik DKI Jakarta sebagai pesta rakyat untuk memilih pemimpin yang baru, harusnya
diselenggarakan secara fair agar juga
menghasilkan pemimpin yang sesuai ekspektasi masyarakat DKI Jakarta. Lebih jauh
lagi, pesta demokrasi rakyat di DKI Jakarta adalah sebuah proses untuk mencapai
tujuan bersama antara pemimpin dan masyarakat yang dipimpin. Untuk itu, guna
mencapai tujuan bersama haruslah mengelaborasikan kepentingan atau kebutuhan
masyarakat yang disinergiskan dengan gagasan para kontestan DKI Jakarta yang bisa
memahami dan menjawab atas kompleksitas persoalan yang terjadi di DKI Jakarta.
Track record
dari para konstestan seharusnya di publikasikan secara holisitk oleh media
massa yang ada beserta penekanan visi, misi dan kebijakannya. Bukan hanya visi,
misi dan kebijakan semiotik yang terpampang di papan iklan jalanan hingga layar
kaca yang tidak pernah jelas arah dan tujuannya. Sebab, itulah yang seharusnya
menjadi barometer para konstituen untuk menjatuh pilihannya terhadap para
kompetitor politik DKI Jakarta. Bukan juga sebatas politik platform dan
pencitraan yang dikedepankan. Klise kepalsuan yang tidak sesuai tidak bisa
terus dipertahankan, apalagi menghalalkan berbagai macam cara seperti mazhab Machiavellian
untuk mendapatkan kuasa dan wewenang, terlebih dengan mempergunakan isu SARA
dalam pertarungan.
Sebagai
Ibu Kota Negara yang merepresentasikan
Indonesia, DKI serta daerah lainnya untuk sesegera mungkin melakukan transisi
politik ke arah yang lebih arif dan tepat. Jangan mululu SARA yang malah tidak mencerminkan
realitas sesungguhnya dan cenderung menimbulkan berita sensasional yang tidak
berdasar. Menurut Rocky Gerung, SS. salah satu staf pengajar di Departemen
Filsafat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI) mengatakan bahwa
justru “Dalam berita sensasional, selalu ada logika yang dipalsukan”. Berita
terkait Ahok kini marak di beberapa tayangan layar kaca penuh dengan hal-hal
negatif seperti penistaan, kebencian antara kelompok tertentu akibat konstuksi
realitas sosial. Media seharusnya bukan lagi kepanjangan tangan para aktor
politik yang ingin memproduksi dan melanggengkan isu-isu negatif demi
kepentingan politik tertentu.
Clifford
Geertz mengemukakan bahwa Indonesia adalah sejumlah bangsa dengan ukuran,
makna, dan karakter yang berbeda-beda yang melalui sebuah narasi agung yang
bersifat historis, ideologis, religius atau semacam itu disambung-sambung
menjadi struktur ekonomis dan poltis bersama (Althonul Afif, 2012: 306). Narasi
diatas harusnya menjadi refleksi kita semua, bahwa momentum politik adalah
pertarungan gagasan yang solutif dan menghasilkan demokrasi yang sejuk tanpa
kegaduhan SARA dan hal lainnya. Berbagai kepentingan dan pertarungan para elit
jangan sampai mengorbankan masyarakat.
Hendaknya
para politikus harus betul-betul memahami perjalanan bangsanya sendiri agar
pertumpahan darah antara saudara, sebangsa dan satu nenek moyang tidak terulang.
Indonesia dalam perjalanan sejarahnya sudah banyak melewatkan civil war karena persoalan SARA dan pertumpahan
darah adalah hal yang menakutkan dan mendekonstruksi kembali cita-cita
Indonesia yang telah disusun sejak Indonesia merdeka.






0 komentar:
Posting Komentar