Translate

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 13 Januari 2019

Firaun Di Waktu Yang Lain


Semua harus seperti sabdaku, kalau tak menurut maka kita berbeda selamanya. 

Semua harus seperti titahku, kalau tak ikut maka kita berbeda seumur hidup.

Semua harus seperti dalilku, kalau tak sama maka kita berbeda setiap waktu.
Itulah aku.

Sabdamu takku dengar.
Pikiranmu takku terima.
Dalil-dalilmu takku percaya.
Itulah aku. 

Aku dengar kalau sabda kita satu gelombang suara.
Aku terima kalau pikiran kita dari satu sudut kaca mata.
Aku percaya kalau dalil kita berangkat dari pasal yang itu saja. 
Itulah aku. 

Aku adalah Tuhan sambut Firaun lirih di kedalaman hati dan labirin pikiran. Aku Firaun di waktu yang lain. 

Jasadku sudah lekang oleh murka dan kuasa Tuhan. Tapi hati dan pikiranku meliputi ruang dan zaman.
Itulah Aku.

Anak Bulan

Aku sambung mata kau tak tampak
Aku selami pikiran kau tak muncul
Aku mengitar ke sana kemari tak juga bersua
Kau ini sebenarnya siapa?

Aku toleh kanan kiri kau tak kentara
Aku saut berteriak depan belakang kau tak menoleh
Aku jamah dan raba masih juga tak berkata-kata 
Kau ini sebenarnya apa?

Takku cari kau datang merayu
Takku pikirkan kau mengundang rindu
Takku tanggapi tapi kau mengundang candu
Kau ini sebenarnya siapa?

Takku ceritakan kau sering disebut-sebut
Takku temui kau sering datang mengetuk
Takku ladeni tapi kau sering menyambut
Kau ini sebenarnya apa?

Aku bangun dari malam-malam pincang sambil berkelakar
Ooooh!!! aku ini adalah Kau.

Ada sampan hendak berenang
Sampai lidah tergalang
Ooooh!!! aku ini adalah anak bulan. 

Aku kembali sadar sambil bekelakar
Ooooh!!! aku ini adalah Kau.

Hidup yang landai dan curam aku hanya berkelakar, dasar anak bulan!

Suka Cita Menggali Lubangnya Sendiri

Binar mata perempuan itu kerap memancarkan purnama terang di gulita malam. Mengikis sepi pada atma yang sayu. 

Baris surainya mengurai beringin di samarnya malam. Mencuri gundah pada isi kepala yang mudah kalap.

Kulit tajamnya mengetuk dinding di sebamnya malam. Merampas sedu-sedan perasaan yang tawar. 

Suaranya lunak gigi dari lidah menyelinap di sela malam. Mengebiri ramai pada sarira yang gusar gulana.

Kalbunya menyengat setiap organ dan rongga di lengang malam. Racunnya menjalar ke sendi-sendi dan jaringan sel tubuh yang lasuh terkulai.

Sekonyong-konyong lipatan bibir kemayunya melumat harapan di muram malam. Bibir kemayu tak seelok bagian lain. 

Lipatan bibir itu andal meluapkan aksara dan bait kejujuran tanpa basa basi suka cita. Tapi juga mengoyak selarik harapan hari tua yang ditulis sejak perasaan mulai kembali membaca. 
Suka cita menggali lubangnya sendiri. 

Terbenam karena harapan dan karam sebab luka sayatan. Dibiarkan menganga tanpa pernah ditambal sulam. Izrail bukan sedang mencabut nyawa melainkan benih suka cita sampai ke ubun-ubun.

Hidup tak memberi kehidupan dan mati tak menerima kematian. Meninggalkan seonggok daging serta tulang-belulang tanpa sehelai pun suka cita, jasadnya kering. Itu yang dinamai mati suri. Azab yang amat pedih. 

Perempuan acap begitu, suka cita kita dilahap sehabis-habisnya menyisakan nisan dan liang kubur. Sejak itu aku ingat Tuhan dan kematian. 

Membela NKRI Jangan Dimonopoli

(Sumber Foto : tolinetblog.wordpress.com)

Menjaga NKRI itu tidak mesti mengacungkan sejata dan menembak. Karena siapapun dapat menjadi garda terdepan menjaga kedaulatan NKRI, bergantung pada siapa dan apa profesinya. 

Tenaga pendidik dapat menjadi garda terdepan membela NKRI dengan profesinya mengajar, mendidik dan memberi pencerahan bagi tunas muda Indonesia. Melalui tugas dan profesinya, tenaga pendidik tengah mempersiapkan tulang punggung negara di masa depan dengan penuh optimisme yang ideologis (Pancasila)

Ulama atau agamawan dapat menjadi benteng pertahanan NKRI dari berbagai ancaman yang datang selama meyakini NKRI dengan segala kurang dan lebihnya.

Kalau ulama atau agamawannya sudak ndak sepakat dengan Pancasila, UUD, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI gimana jamaahnya. Guru kencing berdiri, murid kencing maraton.

Ulama atau agamawan yang begitu ya ndak mungkin ingin membela NKRI dan segala isinya. Yang ada malah membully, berharap gimana caranya NKRI bubar dan menggantinya dengan konsensus yang lain.

Ulama atau agamawan itu bertujuan membimbing jamaah atau pengikutnya untuk beribadah, berbudi pekerti dan moralis layaknya orang-orang beragama. Melalui perannya, ulama atau agamawan tengah mengarahkan pribadi warga negara yang juga beragama memiliki karakter yang otentik sebagai bangsa. Tanpa ini, peradaban suatu bangsa tak bernafas panjang dan kokoh.

Di sisi lain, ada tugas dan profesi khusus yang menjaga NKRI dengan mengangkat senjata dan segala urusan tembak-menembaknya. Bukan sembarang orang.

Tugas dan profesi yang berwenang ini adalah Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai instrumen pertahanan negara. Berikut oleh Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sebagai instrumen keamanan negara.

Walaupun secara fungsional kedua institusi ini berbeda. Tapi TNI dan Polri harus bekerja sama untuk memastikan rumah kita masih Indonesia, utuh dan aman.

Kasus kejahatan dan kriminal di Nduga Papua yang menewaskan puluhan orang tidak bisa menerjunkan sembarang orang atas nama NKRI, apalagi mengirim Banser (Barisan Ansor Serbaguna) yang berlatarbelakang sipil.

Konsep Pertahanan kita memang menggunakan konsep Pertahanan Semesta, yang berarti komponen selain militer seperti sipil dan cadangan lain dapat digunakan sewaktu-waktu, ketika sangat mendesak dan darurat militer.

UUD 1945 sudah mengatur "Hak dan Kewajiban Warga Negara" untuk mempertahankan NKRI. Tapi sekali lagi, rakyat sipil dibutuhkan ketika genting dan sangat mendesak lur!

Kalau tidak genting dan mendesak mengapa ingin sekali mengirim Banser yang berlatarbelakang sipil ke zona merah Papua?Mengirim sipil siapa pun tanpa instruksi TNI dan Polri sama halnya mengirim bencana kemanusiaan baru.

Sebenernya kita ingin menuntaskan kasus kemanusiaan atau sedang meluapkan kekesalan dan kebencian pada NU dan Banser? Jadi kita sudahi saja, membela NKRI tak perlu dimonopoli.





Selasa, 08 Januari 2019

Politik Ruwet

46915_22508.jpg
(Sumber Foto : Merdeka.com)
Wacana tagar #2019GantiPresiden yang diinisiasi oleh sejumlah politisi dari beberapa partai politik mengundang banyak pro dan kontra. Pembahasan tentang tagar itu sontak jadi obrolan sana-sini, dari warung kopi hingga tayangan televisi. Bukan sekadar obrolan, wacana dan gerakan tagar #2019GantiPresiden ini juga dijadikan merchandise layaknya atribut kampanye.
Pihak yang pro terhadap wacana dan gerakan #2019GantiPresiden dinilai sebagai barisan oposisi politik Jokowi sejak Jokowi berhasil memenangkan kompetisi Pilpres 2014 silam. Pihak yang pro terhadap hal tersebut sering dilabeli sebagai kelompok yang merongrong kekuasaan, dengan berbagai jurus dan taktik. Meski caranya dengan menggunakan wacana dan gerakan tagar #2019GantiPresiden sekalipun.
Di sisi lain, para pihak yang kontra terhadap hal di atas tentulah salah satunya adalah Jokowi, yang dipastikan sebagai salah satu kontestan yang akan berkompetisi pada Pilpres 2019 mendatang. 
Kontra terhadap wacana dan gerakan #2019GantiPresiden itu dapat dilihat melalui statemen politik Jokowi di hadapan publik. "Masa kaos aja bisa mengganti presiden?" Bukan sebatas itu, tanggapan semacam itu juga datang dari para simpatisan dan pendukung petahana, salah satu di antaranya seperti "Yang bisa menggagalkan Jokowi jadi presiden cuma Tuhan."
Statemen tersebut ingin menggambarkan poros dan kekuatan Jokowi amat kuat dan sulit dikalahkan. Bahkan menang mutlak sebelum kompetisi Pilpres dimulai dengan menyandarkan pada otoritas Tuhan. 
Statemen itu merupakan klaim politik secara sepihak dari banyaknya kekuatan dan polarisasi politik yang tengah berkompetisi. Statemen demikian bukan tidak beralasan, tujuannya jelas untuk menjaga kondusivitas pendukung dan barisan Jokowi agar tetap semangat dan tidak menjadi kutu loncat akibat masifnya tagar #2019GantiPresiden. Optimisme dan kepanikan memang teramat tipis.
Kontra opini terhadap wacana dan gerakan tagar #2019GantiPresiden tentu sah-sah saja. Namun, kontra opini yang dilayangkan dengan reaksioner dapat berpotensi memunculkan spekulasi publik dan barisan pendukung, seolah Jokowi tengah risau, gagap bahkan paranoid terhadap tagar #2019GantiPresiden.
Di lain pihak, munculnya wacana dan gerakan masif tagar #2019GantiPresiden menunjukkan batas normal, apalagi mendekati hajat demokrasi di Pilpres mendatang sangatlah wajar. Tagar #2019GantiPresiden juga bukan tak memiliki potensi bahaya. 
Jika tagar #2019GantiPresiden menuai kesuksesan untuk memengaruhi simpati dan putusan para pemilih, baik di barisan serta luar barisan Jokowi untuk tidak memilih Jokowi di periode mendatang, tentu akan berdampak pada penurunan elektabilitas Jokowi sebagai kontestan Pilpres 2019.
Potensi bahayanya terletak pada efek domino dari gerakan tagar tersebut adalah siapa yang akan berkompetisi selain Jokowi? Anggap saja jika memang Jokowi dinilai tidak layak atau kompeten menjadi presiden 2 periode oleh para oposisi politiknya.
Pertanyaan selanjutnya, siapa saja yang menjadi kompetitor alternatifnya? Terlebih menggalakkan wacana dan gerakan tagar #2019GantiPresiden tanpa mengetahui dan memastikan siapa para kompetitornya terlebih dahulu amat berbahaya.
Apalagi jika pihak-pihak yang akan berkontestasi melawan Jokowi ternyata tidak lebih baik secara track record (rekam jejak), pengalaman serta kepiawaian dalam memimpin negara. Kalau ruwet macam begitu, siapa yang hendak bertanggung jawab? Alih-alih ingin memperbaiki, justru malah memperparah kondisi.
Konsentrasi publik diarahkan menjadi "Untuk pilpres terserah siapa aja yang penting bukan Jokowi". Tentu alternatif itu belum menjadi jawaban yang dibutuhkan dan tepat. Publik dikacaukan cara berpikirnya dengan kompetitor Pilpres yang serba absurd, penuh kemungkinan dan kegamangan. 
Kalau sudah begitu, urusannya akan semakin repot. Wacana dan gerakan tagar #2019GantiPresiden dapat menjadi biang kerok marabahaya karena melegitimasi alternatif bakal calon presiden dan wakil presiden yang berstatus anonim. Sebut saja Fulan, Ki Jaed, dan seterusnya. Mudah-mudahan kedunguan ini tidak terpelihara dengan baik.